“IHA-ULUPIA (Pulau Seram),
IHA MAHU (Pulau Saparua)
KULUR/ULU (Pulau Saparua)”.
Zaman
dahulu sebelum kedatangan bangsa-bangsa eropa di Maluku (Al-Jazirah Al-
Muluk). Sesuai dengan namanya Semenanjung raja-raja, maka di Maluku
terdapat beberapa kerajaaan, diantaranya Kerajaan Hitu di Huabon (Pulau Ambon =
Aman abon=dibaca apon/Kota Ambon), Alaka di Nusa Hatuhaha (Pulau Haruku),
Kerajaan Iha di Nusa Iha (Pulau Saparua). Dan lain-lain.
Kerajaan-kerajaan ini merupakan kerajaan-kerajaan Islam yang hidup rukun dan
damai.
Kerajaan
Iha memiliki ibu kota kerajaan atau sering kita dengar dalam tuturan sejarah
kerajaan-kerajaan disebut “Kota Raja” dalam bahasa Amaiha disebut “Amalatu”
yang terletak di bagian utara Nusa Iha (pulau saparua) yang dikenal dengan
sebutan jazirah Hatawano dengan taman
sarinya bernama “Kupa Latu”
Kota raja ini terletak di atas gunung Amaihal. Raja Kerajaan Iha disebut “Upu
Latu” dengan gelar Latu Sapacua
Latu Teuna Sitania. Kerajaan Amaiha pada
Nusa Iha terdiri dari tiga Jazirah, yaitu bagian utara atau jazirah Hatawano
terdiri dari tujuh soa yang dikenal dengan sebutan “Nurwaitu Amalatu”
dibawah Koordinator Upu Ila Pattiiha, Jazirah Selatan yang dikenal dengan
wilayah “Sama Suru” dibawah kekuasaan marga yang berteun (teuna) “Samaa”
dengan gelar Upu Kamar” dan Jazirah Tenggara diberikan “Perintah” kepada salah
satu saudara mereka yang datang dari tanah “Papua” untuk memerintah/berkuaasa
di Jazirah Tenggara dan Nusa Hulawan dengan gelar “Pattisahusiwa”.
PERANG
IHA I (Portugis)
Kedamaian
Kerajaan Amaiha mulai terusik dengan datangnya bangsa-bangsa eropa. Dalam tahun
1570, penginjilan telah mulai digiatkan di Saparua (nusa Iha) dibawah
pimpinan padri Mascarenhas,
Raja Iha dengan rakyatnya tidak rela dan mereka segera menyusun kekuatan
melawan portugis. Dalam peperangan itu tampil seorang pejuang yang juga adalah
seorang imam besar dari kerajaan Iha yang berjuang mempertahankan
kerajaannya.beliau lebih terkenal dengan nama Kapitan Ulubalu (dibaca=Ulupalu).
Pertempuran
dimulai dari ujung utara jazirah hatawano dengan tidak henti-hentinya.
Banyak orang portugis yang gugur demikian juga dipihak pasukan Iha.
Karena banyaknya darah yang mengalir ditempat sungai yang ada disekitar situ
warnanya menjadi merah sungai itu oleh rakyatnya disebut air potang-potang yang
sebenarnya “air potong-potong” karena disitu banyak mayat portugis dibuang.
Peperangan
terhenti setelah kapitan Ulupalu gugur dalam suatu pertempuran yang
sangat dasyhat dan melelahkan ketika Sancho datang membantu pihak portugis
dengan pasukan dan senjata yang lebih besar. Walau akhirnya portugis berhasil
dengan penginjilannya di beberapa negeri, namun harus dibayar dengan harga
mahal sekali karena orang-orang kerajaan Iha memperlihatkan kemampuannya
sehingga pasukan portugis menderita kekalahan besar.
Para
rakyat kerajaan iha yang dipimpin oleh kapitan Ulupalu telah memperlihatkan
sikap kepahlawanannya, tempat dimana beliau gugur dinamakan oleh Penduduk-penduduk
disana dengan istila “hatu imam” dan untuk mengenang jasa-jasa
kepahlawanannya, ibukota kerajaan Iha (Kota Raja / Amalatu) dinamakan AMAIHA
ULUPALU. Sampai tiba saatnya Portugis angkat kaki dari Maluku, Kerajaan Iha tak
berhasil ditaklukan oleh Portugis.
PERANG IHA II (Belanda)
Rakyat
Iha sebenarnya sudah sejak ke abad 17 telah memusuhi Belanda, karena
seperti daerah penghasil cengkeh lainnya, Kerajaan Iha pun tak luput dari
incaran kompeni untuk diambil tindak kekerasan. Karena dianggap suka melawan
dan sukar untuk untuk ditaklukan, Belanda sangat tidak senang terhadap
raja dan rakyat Iha. sulitnya menaklukan mereka karena setiap kali ada bahaya,
seluruh rakyat iha segera menyingkir ke atas gunung amaihal yang merupakan
sebuah gunung di jazirah Hatawano pulau saparua. Disitulah terdapat Ibukota
kerajaan iha (Amalatu) yang bernama AMAIHA (Aman + Iha = Kota Iha).
Menurut
sejarah hancurnya pertahanan Iha adalah disebabkan karena penghianatan dari dua
orang kaki tangan belanda, masing-masing dari Tuhaha dan Ullath bermarga
Sasabone dan toupessi. Penghianatan ini telah diungkapkan oleh para leluhur
dengan sebuah kapata dalam bahasa Iha yang masih dihayati sampai sekarang dan
biasa dituturkan dalam upacara–upacara adat sebagai kenangan terhadap kejayaan
Iha yang hancur karena penghianatan.
Kapata
itu berbunyi sebagai berikut :
“Sasabone kutuke,Toupessi tobate, puna leka Amaihal”
Artinya
:
“Terkutuklah Sasabone dan
Toupessi ,karena merkalah yang menghancurkan Kerajaan Amaiha”
Dari
bunyi kapata diatas yang telah berusia lebih dari +360 tahun dapat
diketahui bahwa orang Belanda telah memperalat Penduduk Tuhaha dan Ullath
sehingga VOC berhasil mengalahkan kerajaan Iha. Menurut orang iha sumpahan itu
jelas terlihat kepada kedua matarumah (marga itu).
Pada
Zaman kekuasaan Gubernur de Vlamigh, pada tahun 1652 rakyat iha terlihat lagi
dalam peperangan menentang VOC. sebelum pertempuran dimulai, VOC telah mengirim
utusan untuk minta kepada raja Iha agar rakyatnya turun berdiam di
tepi pantai. Mereka yang diutus adalah dari marga sasabone dan toupessi.
raja Iha menolak usulan kompeni, namun kedua utusan itu memutarbalikan fakta
dengan mengatakan bahwa raja Iha bersama semua rakyatnya bersedia turun.
Karena
telah lama menunggu sedangkan belum ada tanda-tanda bahwa
mereka akan turun, de Vlamingh mulai
melancarkan serangan terhadap pertahanan iha. Pasukan Iha dengan semangat
berapi-api menentang serangan de Vlamingh dengan pasukannya yang dibantu
negeri-negeri Kristen disekitar kerajaan Iha yang berhasil diperalat.
pertempuran berlangsung dengan sangit serunya. Bertubi-tubi meriam
belanda ditembakan namun tak berhasil mengalahkan benteng Ama Iha.
Dalam
keadaan yang hampir putus asa pasukan VOC mendapat saran dari kedua penghianat
(saudara sendiri mereka meninggalkan kerajaan Amaiha karena terjadi Perang
Lawataka ke 2) tadi, supaya jangan menembak dengan peluru biasa, tetapi
sebaiknya dimasukan tulang babi kedalam meriam untuk ditembakkan kearah benteng
dan masjidnya. percaya atau tidak setelah meriam yang berisi tulang babi itu
ditembakan dan jatuhnya tepat di halaman masjid Amaiha yang sangat indah itu,
terjadilah sebuah keributan sehingga membuat panik penghuni Amaihal.
Karena
melihat tulang babi yang jatuh berserakan rakyat Iha pun hilang semangatnya
untuk mengadakan perlawanan karena masjid telah berlumuran najis,
sehingga sebelum salat subuh Kapitan sekaligus Pati Kerajaan Iha (Patiiha),
yaitu Kapitan Pattihua yang sekaligus sebagai Guru Besar (penasehat Upu Latu
dalam bidang pemerintahan, keamanan dan bidang Agama) menujuh pantai dan
menggaris sebidang tanah dengan tongkatnya. Kemudian Kapitan
tersebut melakukan Shalat Subuh dan memohon Kepada Sang Kalid untuk melindungi
dan meridhai perjuangan mereka, maka (percaya atau tidak) sebidang tanah yang
tadi digaris oleh kapitan tersebut terlepas dari pantai membentuk kora-kora
(rakit) daerah ini sekarang berada di depan negeri Iha Mahu pada daerah
tersebut terlihat agak dalam sedangkan daerah sekelilingnya agak dangkal
(waullahu alam). Kapitan menghadap upu Latu untuk segera meninggalkan
kerajaan dengan menggunakan rakit tersebut.
Dalam
rombangan Upu Latu sebagian besar masyarakat yang bersamanya adalah berasal
dari “Soa Iha” dan “Soa Mahu”. Karena tergesa-gesa maka
sebagian masyarakat kedua soa ini tidak sempat turut serta dengan rombangan Upu
Latu. Pada akhirnya masyarakat yang tidak hijrah dengan Upu Latu
membentuk negeri yang diberi nama Iha Mahu yang berupakan gabungan dari Soa iha
dan Soa Mahu, dan sekaligus untuk mengenang saudara-saudara mereka yang turut
bersama Upu Latu adalah dari Soa iha dan Soa Mahu. (Bukan “Iha maane
hahu” seperti apa yang dikemukakan para penulis sejarah selama ini, bagi
kami kesimpulan ini terlalu prematur,
apalagi alasan yang digunakan adalah pengaruh pengucapan sehingga maane hahu menjadi mahu kelihatan tidak pas dan mencari-cari
alasan). Hal ini dapat dibuktikan dengan marga yang ada di Iha Mahu sama dengan
yang ada di Iha-Ulupia (Pulau Seram). Disamping itu masyarakat Iha-Mahu
(Saparua) menyebut Soa Mahu (sekarang Negeri Mahu) dengan sebutan kampong
artinya daerah itu merupakan kampong mereka dulu. Serta ujung mesjid atau tiang alif mesjid Mahu dibawah oleh rombangan Upu
Latu yang sekarang merupakan tiap alif mesjid (musalah) Mahu di
Iha-Ulupia. Masyarakt Soa Mahu yang turut dalam rombongan Upu Latu adalah
Marga Putuhena dan Pikahulan.
Perjalanan
Upu Latu dan rombongan menuju pesisir selatan daerah “Sama Suru” pada
perbatasan antara wilayah Nurwahitu dan wilayah Sama Suru sebagian mayarakat Soa Pia
dan Soa Ulu (Kulur) telah menanti Upu Latu dan rombangannya untuk sama-sama
Hijrah meninggalkan nusa Iha. Raja dan rombangapun turun sejenak ke
pantai bertemu dengan masyarakat kedua soa tersebut. Upu Latu menayakan
kepada Kepala Soa Pia tentang ujung mesjid Pia. Kepala Soa mengatakan
bahwa beliau tidak sempat membawanya. Maka Upu Latu bertita kepada adik kandungnya untuk mengambil
ujung mesjid pia, sang adik pun segera menujuh ke Soa Pia, tak lama kemudian
Upu Latu memerintahkan rombongan untuk berangkat karena keberadaan mereka sudah
diketahui oleh Belanda dan pasukannya. Sepeninggalan mereka sang
adik pun datang tapi tidak dijumpai rombongan upu latu lagi, sang adik pun
sedih dan akhirnya sang adik berjalan menujuh tanjung kulur dan menyemberang ke
Pulau Haruku dan menetap di sana beserta ujung mesjid Pia. Anak
turunannya sekarang adalah marga Sitania di Haruku. Musallah Pia di
Amaiha-Ulupia tidak memiliki ujung. Perjalanan rombongan Upu Latu dan Upu
Khamar ini mereka singga dari satu tempat ke tempat lainnya dan akhirnya mereka
menetap di daerah sekarang yaitu jazirah Huamual yang daerahnya dari laut
terlihat persis sama dengan jazirah Hatawano, dan dari Gunung atau cuaca cerah
terlihat Gunung Amaihal tempat bertahtanya Upu Latu Sapacua Latu tampak
terlihat. Masyarakat Soa Iha dan Soa Mahu bergabung dalam Negeri Iha dan
masyarakat Soa Ulu dan Soa Pia bergabung dalam Negeri Kulur/Ulupia.
Pada
Tahun 1974 lebih dari 3 (tiga) abad baru hubungan gandong ini dibangkitkan
kembali bertepat dengan pelantikan Upu Latu Iha dan Upu Khamar Ulupia (Kulur)
Seram Barat.
KESIMPULAN
Dari
Kisah di atas dapat disimpulkan bawa perpisahan keluarga sekandung yang terjadi
disebabkan oleh perang melawan belanda.
Gandong
atau saudara sekandung antara Iha-Ulupia (Kab. Seram Bagian Barat), Iha-Mahu
dan Kulur/Ulu (Kab. Maluku Tengah) bukanlah Gandong karena berasal dari satu
kerajaan atau negeri saja, bukan pula karena hubungan antara raja atau marga
tertentu saja, tepi lebih dari itu Gandong atau saudara sekandung yang
betul-betul terjadi putus tali gandong dari rahim ibu artinya semua masyarakat
Iha-Ulupia, Iha-Mahu dan Ulu (kulur) memiliki saudara sekandung atau terjadi
perpisahan dari masing-masing mata rumah dan mereka masing-masing berada pada
empat negeri tersebut.
catatan: Iha-Ulupia merupakan dua negeri satu komando artinya Upu
Latu (Raja Negeri Iha) memberi tita masyarakat Iha dan Kulur (Ulupia) tunduk
dan patuh atas tita tersebut, bitu juga halnya dengan Tita Upu Khamar (Raja
Negeri Kulur/Ulupia).
Iha sebelum era 1653 harus dimaknai sebagai sebuat kerajaan (negara) bukan sebagai negeri (desa), Karena saat itu bentuk pemerintahanya sangat kompleks. Saat itu ada Upu Latu (Raja) semacam presiden, Patti, Khamar semacam Gubernur, ada yang namanya ILA semacam Bupati or Walikota dan lain-lain
BalasHapusLike this..
BalasHapusizin copy om...
BalasHapus.Trimakasih Informasinya
BalasHapusBeta minta dengan hormat nama matarumah beta ditulis tepat: Latu SOPACUA, bukan SAPAcua. SAPAcua artinya apa dan Sopacua artinya apa?
BalasHapus